Iklan Sponsor

Iklan

Iklan Sponsor

Iklan

terkini

Sawerigading dalam Diaspora Orang Bugis: Kasus Bangka (Bagian 3)

arung sejarah
, 08:30 WIB Last Updated 2023-06-14T04:07:25Z
Sawerigading dalam Diaspora Orang Bugis: Kasus Bangka (Bagian 3), Barbara Watson Andaya, Universitas Hawai’i disampaikan pada acara Festival dan Seminar Internasional La Galigo di Masamba, Sulawesi Selatan, 10-14 Desember 2003, Idwar Anwar, La Galigo, novel la galigo, sawerigadingSawerigading dalam Diaspora Orang Bugis: Kasus Bangka (Bagian 3), Barbara Watson Andaya, Universitas Hawai’i disampaikan pada acara Festival dan Seminar Internasional La Galigo di Masamba, Sulawesi Selatan, 10-14 Desember 2003, Idwar Anwar, La Galigo, novel la galigo, sawerigading
Barbara Watson Andaya

ARUNGSEJARAH.COM - Sawerigading dalam Diaspora Orang Bugis: Kasus Bangka (Bagian 2).

 

Sementara nama pelaut ‘Nakhoda Ragam’ muncul di bermacam cerita Melayu, di legenda Bangka dia berkawan dengan Sri Gading dan dia juga digambarkan sebagai setengah Bugis. Dengan begitu, dia memiliki kemiripan dengan Panglima Raman, seorang pembajak yang buruk citranya, anak lelaki dari seorang Bugis dan seorang ibu orang laut, yang ceritanya muncul di manuskrip Belanda dan Melayu dari akhir abad ke-18. Sebagai pembajak yang ditakuti, Panglima Raman dan pengikutnya beberapa kali menyerang pantai Bangka selama tahun 1780-an dan dalam waktu yang singkat dia sempat tinggal di Bangka sebelum ditangkap dan diadili penguasa Johor.[26]

Dalam Carita Bangka, Panglima Raman disebutkan bersama-sama dengan seorang Raja Bugis, bernama Arung Mempu, dan keduanya telah menyerang Bangka (daerah Mentok) pada 1216 Hijrah (1801 Common Era/Masehi). Yang luar biasa bukanlah sekedar persamaan-persamaan antara tokoh ‘Ragam’ dan ‘Raman”, tetapi kesejajaran antara Arung Mempu dan Sri Gading. Arung Mempu juga dikatakan meninggalkan ‘negeri Bugis’ karena beberapa perkara jahat yang telah diperbuatnya, dan dia juga mengabdi (mengawula) pada Sultan Johor (yang waktu itu tinggal di Linggi). Arung Mempu dan Panglima Raman serta armada perahu mereka, seperti halnya Sri Gading, rusak di Bangka.[27] Karena banyak orang di daerah Bangka mengaitkan ‘Bugis’ dan ‘Makassar’ dengan perampokan dan pembajakan, maka tampak wajar saja menganggap Sri Gading dengan citra demikian.

Unsur ketiga yang pantas mendapatkan perhatian adalah kepergian Sri Gading dari Bangka. Dia berjanji untuk kembali menjemput para pengikutnya, tetapi dia tidak pernah melakukan itu, dan para pengikutnya pun ditinggalkan untuk mengurus diri sendiri. Perkembangan ini sekali lagi cocok dengan persepsi orang Bangka terhadap pendatang Sulawesi. Walaupun sebagian dari mereka dapat hidup mandiri di semenanjung Melayu, Sultan Palembang pada tahun 1781 masih dapat menggolongkan Raja Haji, orang keturunan Bugis Yamtuan Muda Riau, sebagai ‘burung terbang’.[28]

Kajian-kajian tentang masyarakat pendatang Bugis pada abad ke-19 menunjukkan bagaimana dengan cepatnya mereka memisahkan ‘ke-Bugisan’ mereka dan mencirikan diri mereka dengan lingkungan Islam Melayu yang kini telah menjadi tempat tinggal mereka.[29] Sedikit sekali ciri-ciri khas Sulawesi Selatan, dalam bahasa, pakaian, makanan atau kebiasaan budaya, mempengaruhi masyarakat Melayu. Misalnya, dalam cerita proses pelantikan raja pertama Pontianak yang dilakukan oleh Raja Haji ‘Bugis’, pengarang Tuhfat al-Nafis secara khusus menyatakan bahwa upacara yang dilakukan adalah ‘menurut budaya dan tradisi Johor’. Hanya ada satu tambahan dari Bugis, yaitu upacara mengucapkan sumpah setia dengan pedang.[30]

Pengaruh Bugis bahkan lebih sedikit terlihat di Bangka, meskipun dua abad interaksi dan perkawinan campur terjadi. Bahasa dalam Carita Bangka, menurut Wieringa, menunjukkan banyak penyimpangan dari standar bahasa Riau-Melayu, termasuk beberapa kata pinjaman dari Jawa, seperti mengawula, dan beberapa persamaan tata bahasa dengan Melayu-Cina.[31] Dia tidak menemukan sama sekali peninggalan bahasa dari Sulawesi, dan sesungguhnya, seiring dengan berlangsungnya cerita Abang Arifin, adalah menjadi jelas bahwa hanya melalui hubungan-hubungan dengan Arab, Jawa, Banten, Johor dan Palembang-lah, orang Bangka bersentuhan dengan ‘budaya’.

Kita semakin merasa butuh untuk menjelaskan mengapa pahlawan Bugis dalam cerita itu menjadi begitu penting di daerah Bangka sebagai ‘bapak pendiri’ (founding father). Kita tentu bisa saja menunjukkan fakta sederhana tentang keberadaan politik dan ekonomi Bugis di Selat Malaka mulai abad ke-17 dan seterusnya. Tetapi alasannya mungkin jauh lebih dalam, karena karakter Sri Gading sangat jelas menarik imajinasi lokal. Layaknya banyak pahlawan lokal lainnya, Sri Gading adalah wujud seorang pahlawan yang suka mengembara, yang terkenal dalam legenda dan sastra, seperti Iskandar Zulkarnain (Alexander the Great) dan Hang Tuah.

Tokoh Sri Gading mungkin saja membuka jalan bagi sumber budaya lainnya. Misalnya, Wieringa telah menunjukkan adanya hubungan antara mitos Sri Gading dan sebuah episode dalam satu versi Sejarah Melayu, yang mengaitkan cerita Semerluki, anak penguasa Balului, di Makassar. Karena dia jatuh cinta dengan ibu tirinya sendiri, Semerluki diperintahkan untuk pergi merompak ke Ujung Tanah untuk mencari istri lain yang sederajat. Semerluki pergi dengan dua ratus kapal untuk mengalahkan ‘semua daratan di bawah angin.’ Tidak terkalahkan, dia menjelajahi pantai-pantai sepanjang pulau Jawa, Siam, Melaka dan Semenanjung Melayu, dan tidak ada seorang pun yang bisa menahannya. Namun akhirnya ia menemukan seperti orang-orang Pasai yang bertarung dengan begitu perkasanya, sehingga Semerluki menyimpulkan bahwa raja mereka lebih berani daripada Laksamana Melaka. Walaupun Semerluki akhirnya kembali ke Melaka, dia meninggalkan sebuah batu besar di Selat Ungaran, yang orang menyebutnya Tanjung Batu. Dengan cara yang sama, perahu Sri Gading menjadi Bangka.[32]

Dalam contoh ‘raja asing’ yang ditawarkan Marshall Sahlins, hubungan perkawinan antara putra raja asing dan anak perempuan asli daerah menjadikan pimpinan orang luar sebagai penghubung interaksi antara ‘orang asing’ dan orang lokal.[33]Meskipun dalam banyak hal Semerluki dan Sri Gading cocok dengan gambaran tentang ‘raja asing’, keduanya tidak menikahi wanita ‘asli’ daerah, dan tidak menjadi perantara yang membawa masuknya pemikiran luar ke dalam masyarakat asli. Ketika itu orang Bugis hanya dianggap sebagai satu dari berbagai macam kelompok etnis yang ada di Bangka – Minangkabau, China, Arab Melayu – yang datang untuk menambang timah, berdagang atau kadang-kadang merampas kapal yang lewat. Dalam hal kebudayaan, mereka mempunyai pengaruh yang paling sedikit, tidak seperti orang Melayu atau orang Jawa. Dengan memahami peran yang kurang penting ini, perpaduan orang Bugis dan Bangka dilambangkan dengan para awak kapal Sri Gading, para pengikut Bugis peranakan dari Johor bernama Nakhoda Ragam, yang ditinggalkan di Bangka tetapi kekurangan tradisi bersama dalam hal bahasa, pakaian atau adat.

Sekalipun begitu, hubungan antara Teluk Melaka bagian Selatan dan Sulawesi sudah berlangsung sangat lama, dan adalah penting bahwa di dalam teks Abang Arifin cerita Sri Gading mendahului cerita-cerita yang lain yang mencatat kegiatan guru-guru Arab dan raja-raja Palembang. Pada fasal 18 mulai dengan kata-kata ‘menyatakan asal manusia yang jadi orang Bangka sampai sekarang, Make di dalam zaman itu ada satu anak raja negeri Bugis…..

Dari runtutan cerita yang tersedia –bahwa penduduk pertama Bangka adalah dua orang Arab bersaudara yang besar, bahwa orang Bangka adalah keturunan dari Raja Jawa dan pengikutnya yang telah berubah menjadi burung-burung, bahwa mereka berasal dari orang-orang yang selamat dari kejadian rakit Banten yang rusak– Abang Arifin (yang tidak memiliki hubungan pribadi dengan Sulawesi, sepanjang yang kami tahu) memilih cerita yang menekankan hubungan dengan tanah Bugis. Tidak seperti leluhur ras Melayu, Sri Tri Buana, atau Gajah Mada dari Jawa, atau raja Islam Sulaiman (yang juga muncul dalam Carita Bangka[34]), Sri Gading tidaklah mendirikan sebuah dinasti dan tidak menjadi penyalur nilai-nilai kemasyarakatan yang baru. Meskipun demikian, pengusiran dirinya dari kampung halamannya, kehidupan bajak-lautnya, perkawinan ‘Cina’-nya, hubungannya dengan Johor, persinggahannya di Bangka sendiri dan kepergiannya yang tiba-tiba, kesemuanya itu menciptakan suatu stereotipe budaya yang, --dilihat dari perspektif Bangka--, menerangkan cirri-ciri khusus kehadiran Bugis pada masa kemudian. Dalam kalimat lain, dengan menafsirkan nuansa-nuansa pengaruh Bugis/Makassar, cerita Sri Gading menjelaskan dan membuktikan adanya hubungan Bangka dengan Sulawesi yang, meskipun sering mempengaruhi ingatan-ingatan lokal, menghubungkan dua daerah itu selama ratusan tahun.

 

Appendix

Pasal ke-17 dari Carita Bangka[35]

Menyatakan asal manusia yang jadi orang Bangka sampai sekarang. Make di dalam zaman itu ada satu anak raja negeri Bugis, Boni atau Makassar, namanya Sri Gading yang tersebut di dalam fasal yang kedua tadi, mau ganggu menyumbang sama saudaranya perempuan nama Dading, tetapi itu perempuan tiada mau. Dengan sebab itu sudah dikasih tahu kepada bapanya name Tumpu Awang. Maka itu bapa jadi murka, lantas diusirnya di punya anak nama Sri Gading keluar dari negeri itu serta ditentukannya itu Sri Gading tiada boleh kembali, melainkan jikalau sudah dapat isteri yang baik. Dengan sebab itu Sri Gading sudah keluar dari negeri dengan satu perahu besar serta cukup alat senjata dengan orang anak perahunya banyak beberapa bangsa. Maka sudah melanggar berkeliling tanah Bugis Timur, Jawa, Sumatera, keliling pulau Perca dan lain-lain negeri bangsa Melayu. Maka tiap-tiap ngegeri yang disinggahkannya dia ambil beberapa orang dengan sukanya itu orang ada yang dipaksa seperti membajak, maka jadi penuh itu perahu. Dan singgah di alam kerajaan Johor, di situ Sri Gading sudah pergi mengadap mengawula ke bawah duli baginda Sultan Johor, tetapi dengan sebab banyak bangsa raja-raja Bugis di tanah Johor, dengan sebab itu Sri Gading sudah banyak dapat pertolongan dari Sultan Johor serta diberi isteri yang baik dari satu perempuan peranakan Cina. Maka jadilah tinggal lama Sri Gading di dalam tanah Johor serta membaikkan perahunya. Apabila perahu semuanya sudah, maka itu Sri Gading pun mau kembali ke negerinya, tetapi tiada tahu jalan yang lekas sampai. Dengan sebab ini dia sudah dapat lagi pertolongan daripada sultan Johor buat jadi juragan itu perahu satu peranakan Bugis namanya Nakhoda Ragam yang tersebut itu di dalam fasal yang pertama serta membawa orang dari Johor. Maka berlayar Sri Gading dengan Nakhoda Ragam serta orang yang sudah diambil tiap-tiap negeri tadi. Maka di dalam beberapa lamanya dia sudah berlayar itu sudah dapat angin keras beberapa hari. Lantas itu Nakhoda Ragam mati kena tusuk jarum dari isterinya dengan sebab sudah jadi mati dan beramuk di dalam itu perahu, banyak yang mati dan luka hingga itu perahu anyut, terkandas antara gunung Maras dengan Menumbing, disutu sudah jadi pecah. Maka orangnya mana yang lagi hidup naik ke darat di mana antara tiga gunung Maras. Di situ terlihatlah oleh Sri Gading ada satu rumah dengan kebun di tempat orang yang tersebut di dalam fasal enam belas. Tetapi itu dua orang sudah mati keduanya di dalam kebun di mana pohon bambu sebab digigit ular. Bangkainya belum ancar dan satu kandang dari tempat segala binatang semuanya juga mati sebab tiada makan kerana tuannya sudah mati, melainkan tinggal tulangnya. Dengan sebab itu dua orang mati yang dilihat Sri Gading dinamakan itu pulau Bangka dan satu gunung yang tempat binatang mati tinggal tulang dinamakan bukit Timbun Tulang. Maka tinggal Sri Gading dengan orangnya di dalam rumah kebun; di situ maka apa yang boleh di situ segala binatang dan buah-buahan. Dengan hal yang kesusahan begitu lama tiada perahu yang datang. Maka Sri Gading dengan bininya serta sanak-sanaknya kembali ke negerinya Bugis dengan sampan; lain-lain orang semuanya tinggal di situ, janji akan disuruh ambil. Maka itu Sri Gading sudah pulang ke tanah Bugis atau ke tanah Jawa lebih dulu atau tiada sampai, sudah jadi celaka di laut sebab tiada datang pesuruhannya mengambil mereka itu yang tinggal. Dengan begitu lama ada yang mati ada yang sudah beranak. Maka lama dengan kelama itu orang sudah jadi banyak dengan hal bodoh serta malas dan kotor tinggal sama juga binatang, makan segala binatang dengan pakainya kulit, kayu dan daun kayu. Maka lama dengan kelama itu pulau sudah jadi lebih besar dan banyak gunung yang sudah kering keliling pinggirnya: sudah jadi beratus-ratus tahun dengan hal demikian itu, serta sudah lagi bercampur baur dari segala negeri. Dengan sebab itu banyak bangsanya hingga sampai zaman ini bahasa Bangka tiada punya, melainkan turut bahasa lain-lain negeri. Wallahua’lam.

Sebelumnya....  Sawerigading dalam Diaspora Orang Bugis: Kasus Bangka (Bagian 2)

****

Barbara Watson Andaya, Universitas Hawai’i disampaikan pada acara Festival dan Seminar Internasional La Galigo di Masamba, Sulawesi Selatan, 10-14 Desember 2003


[1] Christian Pelras, The Bugis (London: Blackwell, 1996), hal. 87-90; Andi Hjramurni, ‘Reviving Glorious Buginese Past.’ The Jakarta Post, August 26, 2003.

[2] Pelras, The Bugis, hal 89; Sirtjo Koolhof, ‘The “La Galingo”; A Bugis Encyclopedia and its Growth.’ Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde (selepas ini BKI) 155, 1 (1999): 384.

[3] Yang paling terkenal di antara semua adalah Raja Ali Haji, The Precious Gift. Tuhfat Al-Nafis. Diedit dan diterjemahkan oleh Virginia Matheson dan Barbara Watson Andaya (Kuala Lumpur; Oxford University Press, 1982).

[4] BKI 45 (1895): 113-63. Carita Bangka tidak ditemukan dalam teks, tetapi kemudian muncul pada catalog von Ronkel.

[5] M.O. Woelders, Het Sultanaat Pelembabang 1811-1825. Verhandelingen van het Koninklijk Instituut 72 (The Hague; Nijhoff, 1975), hal. 44.E. P. Wieringa, Carita Bangka: Het Verhaal van Bangka (Leiden: Vakgroep Talen en Culturen van Zuidoost-Azie en Oceanie, Universitas Leiden, 1990), hal. 17.

[6] Wieringa, Carita Bangka, hal. 17-18.

[7] Wieringa, Carita Bangka, hal. 56.

[8] Wieringa, Carita Bangka, hal. 52-53.

[9] Wieringa, Carita Bangka, hal. 54-55.

[10] B. Andaya, To Live as Brothers, hal. 104-07.

[11] R. Roolvink, ‘The Variant Versions of the Malay Annals, ‘ Bijdragen tot de Taal-, Land en Volkenkunde, 1123 (1967), hal. 311-12.

[12] Raja Ali Haji, The Precious Gift, hal. 45.

[13] C.C. Brown “Sejarah Melayu” or “Malay Annals”, JMBRAS 25,2 and 3 (1952): 24.

[14] C. Hooykaas, Over Maleise Literatuur (Leiden: Brill, 1974), hal. 27; Wieringa, Carita Bangka, hal. 43.

[15] Pelras, The Bugis, hal. 89.

[16] Misalnya, Sabatang, pahlawan budaya dari Lampung. B. Andaya. To Live as Brothers, hal. 201-02.

[17] Pelras, The Bugis, hal. 60, 88. C. Hooykaas, Over Maleise Literatuur (Leiden: Brill, 1947), hal. 27.

[18] See Leonard Y. Andaya, The Kingdom of Johor 1641-1728: Economic and Political Developments (Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1975).

[19] SFR G35/15 King of Kedah to Governor of Madras (FSGCP, 25 Juni 1772), fols. 101-2 (British Library, Oriental and India Office Collection, London).

[20] B. Andaya, To Live as Brothers, hal. 186.

[21] Olaf H. Smedal, ‘Affinity, Consanguinity, and Incest: the Case of the Orang Lom, Bangka, Indonesia,’ BKI 147,1 (1991): 107, 124.

[22] Koolhof, ‘The “La Galigo,”’ hal. 375.

[23] Koolhof, ‘The “La Galigo,”’ hal. 378.

[24] Koolhof, “The “La Galigo,”’ hal. 375.

[25] Barbara Watson Andaya and Leonard Y. Andaya, A History of Malaysia, cetakan kedua. (Honolulu: Hawai’i University Press, 2002), hal. 101.

[26] Raja Ali Haji, Tuhfat al-Nafis, hal. 194, 263-64.

[27] Wieringa, Carita Bangka, hal. 115-16.

[28] B. Andaya, To Live as Brothers, hal. 286, fn. 19.

[29] Lihat, misalnya, Leonard Y. Andaya, ‘Bugis Diaspora, Identity and Islam in the Malay Worls,’ disampaikan dalam konferensi yang bertema ‘Bugis Diaspora and Islamic Dissemination in the 20th Century Malay-Indonesian Archipelago’, di Makassar, 6-8 Juni 2003.

[30] Raja Ali Haji, Tuhfat al-Nafis, hal. 156.

[31] Wieringa, Carita Bangka, hal. 21.

[32] T.D. Situmorang and A. Teeuw, Sedjarah Melaju Menurut Terbitan Abdullah ibn Abdulkadir Munsji (Jakarta: Djambatan: 1952), hal. 165-67.

[33] Marshall Sahlins, ‘The Stranger King: or Dume’zil among the Fijians,’ in Islands of History (Chicago: University of Chicago Press, 1985), hal. 73-103.

[34] Wieringa, Carita Bangka, hal. 52-53, 59, 71.

[35] Wieringa, Carita Bangka, hal. 57-59.

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Sawerigading dalam Diaspora Orang Bugis: Kasus Bangka (Bagian 3)

Terkini

Iklan

Close x