Iklan Sponsor

Iklan

Iklan Sponsor

Iklan

terkini

Sawerigading dalam Diaspora Orang Bugis: Kasus Bangka (Bagian 2)

arung sejarah
, 20:30 WIB Last Updated 2023-06-13T05:08:15Z
Sawerigading dalam Diaspora Orang Bugis: Kasus Bangka, Barbara Watson Andaya, Universitas Hawai’i disampaikan pada acara Festival dan Seminar Internasional La Galigo di Masamba, Sulawesi Selatan, 10-14 Desember 2003, Idwar Anwar, La Galigo, novel la galigo, sawerigading
Barbara Watson Andaya

ARUNGSEJARAH.COM - Sawerigading dalam Diaspora Orang Bugis: Kasus Bangka (Bagian 2).

Dalam ceritanya ini Abang Arifin mengingatkan pembacanya akan satu pasalnya yang terdahulu yang menceritakan kembali tentang kisah kakak beradik dari Sumatera yang melarikan diri ke Bangka karena kehamilan adiknya. Mereka berdua meninggal di dalam kebun yang ditumbuhi pohon bambu karena digigit ular. Meskipun tubuh mereka belum hancur, namun binatang-binatang di dalam kandang semuanya mati karena tidak diberi makan oleh pemiliknya yang telah meninggal. Hanya tulang belulang binatang yang tersisa. 

Sri Gading menamai pulau tersebut Bangka setelah ditemukannya dua mayat (bangkai) itu dan menamai gunung itu dengan Timbang Tulang, tempat ditemukannya tulang belulang berserakan dari binatang-binatang yang mati. Sri Gading dan pengikutnya kemudian tinggal di kebun tersebut dan makan binatang dan buah-buahan. Kehidupan mereka terasa sulit karena sekian lama tidak ada perahu yang singgah. Sri Gading, istri dan sanak keluarganya kembali pulang ke negerinya, Bugis, dengan sampan, meninggalkan sebagian pengikutnya dan berjanji akan kembali untuk membawa mereka pulang. Barangkali Sri Gading kembali ke Bugis atau Jawa, atau mungkin saja dia tidak pernah sampai ke tujuannya atau barangkali terjadi kecelakaan di laut. 

Dengan alasan apapun, Sri Gading tidak pernah kembali lagi ke pulau Bangka untuk menjemput dan membawa pulang pengikutnya. Seiring waktu berlalu, beberapa dari mereka ada yang mati, sebahagian mempunyai anak dan dalam beberapa waktu jumlahnya makin bertambah. Namun, mereka tetap saja bodoh, malas, kotor, hidup dan makan seperti binatang, serta memakai pakaian dari kulit binatang, kulit kayu dan dedaunan. Lama kelamaan pulau Bangka membesar dan banyak gunung yang kering muncul di sekelilingnya. Setelah beratus-ratus tahun lamanya, penduduk Bangka bercampur dengan orang-orang dari berbagai negeri. Hal ini menjelaskan kenapa sampai saat ini ada banyak bangsa di Bangka dan kenapa tidak ada bahasa Bangka yang asli, melainkan campur aduk bahasa-bahasa dari berbagai negeri.

Rincian lainnya yang juga dikumpulkan Abang Arifin, yang tertulis dalam pasal terdahulunya, rupanya dianggap tidak berharga dan oleh karena itulah rincian-rincian tersebut dihilangkan dari cerita induknya. Orang-orang Mentok, misalnya, memberitahu Abang Arifin bahwa Sri Gading dan dua saudaranya ‘Si Dampu Awang’ dan ‘Galegu’ mengembara ke Jawa dan Sumatera sampai Cina untuk mencari istri. Kisah ini mengulang kembali cerita tentang kapal yang rusak, tetapi menambahkan bahwa ada tiga orang anak raja yang kembali ke Bugis, tinggal beberapa lama di Jawa dan menjadikan orang-orang yang tinggal di Bangka di bawah kekuasaan Majapahit.[9] Legenda dari Panji, Belinyu dan Sekak menerangkan bahwa perahu yang digunakan Sri Gading ketika meninggalkan Bugis, terbuat dari kayu yang disebut ‘kayu bangka,’ dan nama inilah yang kemudian diambil menjadi nama pulau tersebut. Namun begitu, cerita ini sama dengan cerita-cerita lain dalam menjadikan kisah Sri Gading sebagai bagian dari rangkaian sejarah yang memuat individu-individu lain yang berasal dari Arab, Majapahit, Johor, Banten, Palembang, Minangkabau dan Batak.

Penyampaian Carita Bangka tentang mitos Sri Gading memungkinkan berbagai pemikiran lintas budaya. Adalah menarik, misalnya, untuk melihat perpaduan identitas antara Bugis dan Makassar, karena Sri Gading dianggap berasal dari Bone atau Makasar. Hubungannya dengan Makassar mudah dijelaskan karena keterlibatan pedagang Makassar di bagian Selatan Sumatera sejak awal abad ke-17 dan bahkan sebelumnya. Pada sekitar tahun 1670 putri Raja Makassar, anak dari Sultan Hasanuddin, menikah dengan Raja Jambi dan diberi gelar ratu. Dan putri raja Makassar dan pengikutnya juga sudah lama terlibat dalam perpolitikan Jambi dan Palembang.

Beberapa dari pengikutnya juga menetap di Bangka.[10] Satu versi yang diambil dari cerita epik Melayu yang terkenal, Sejarah Melayu, bahkan menjadikan pahlawan Melayu, Hang Tuah, sebagai Pangeran Makassar.[11] Begitu juga nama Bone yang terkenal di daerah Melayu. Banyak dari para pemimpin Bugis yang datang ke daerah Melayu berhubungan erat dengan Bone dan nama Bone sangat menonjol dalam legenda-legenda yang menjelaskan mengapa Daeng Rilaga dan kelima orang anaknya meninggalkan tanah Bugis dan berlayar ke Barat.[12]

Unsur-unsur lain dalam cerita Sri Gading mengingatkan kita kembali akan tradisi-tradisi yang ada di daerah-daerah sekitarnya; kakak-adik yang membuat kebun di Gunung Maras, misalnya, mengikuti cerita tentang dua janda dari Sejarah Melayu yang sedang mengurus padinya di Bukit Si Guntang, tempat di mana mereka bertemu dengan leluhur ras Melayu.[13] Tema tentang nenek moyang yang muncul dari bambu juga terjadi di banyak wilayah Asia Tenggara. Nama ‘Nakhoda Ragam’, seorang petualang laut yang mati karena jarum yang ditusukkan oleh istri yang menolak pelukannya, sangat terkenal di dunia Melayu ketika itu.[14] 

Sama halnya dengan pengertian bahwa bukit-bukit adalah penjelmaan perahu para pahlawan legenda yang sering ditemukan di Sulawesi dan di kebudayaan-kebudayaan Austronesia lainnya, di mana kata jadian ‘bangka’ dan ‘wangka’ (yang berarti kapal) sudahlah lazim.[15] Tentu saja, cerita-cerita dari daerah Sumatera Selatan juga mengandung cerita tentang pahlawan yang perahunya rusak oleh sisi gunung. [16] 

Nama-nama saudara Sri Gading – ‘Si Dampu Awang’ (atau ayahnya, ‘Tumpu Awang’) dan ‘Galegu’ – adalah jelas-jelas sebuah penyimpangan atas tokoh-tokoh dalam cerita epik yang asli (dalam kasus ini, saudara perempuan Sri Gading, Wé Tenriabéng, dan anak lelakinya I La Galigo), sementara nama ‘Dading’ hanyalah kata yang bunyinya hampir sama dengan kata ‘Gading’, yang mungkin bermaksud menekankan hubungan saudara kembar laki-laki dan perempuan. Nama istri yang Sri Gading peroleh ketika dia di Johor juga berasal dari peristilahan ‘Cina’, yang biasanya terletak di Pammana (Wajo’ Selatan) atau lebih tepatnya, wanita peranakan Cina-Melayu.[17]

Hal-hal yang paling menonjol dari versi Bangka tentang kehidupan Sri Gading membuka jalan bagi penelitian tentang hubungan antar budaya sikap terhadap pahlawan secara umum. Lebih khusus lagi, hal itu memungkinkan penelitian tentang perubahan-perubahan di mana pahlawan Bugis/Makassar tergabung ke dalam sebuah lingkungan yang sikap-sikapnya terhadap pendatang Sulawesi tidak jelas. Perang yang berulang kali terjadi dan perselisihan masyarakat di Sulawesi pada akhir abad ke -17 dan awal abad ke-18 telah menyebabkan perginya orang Bugis dan Makassar ke bagian Barat. 

Sementara pendatang Bugis membangun komunitas-komunitas di Jawa dan Sumatera, perkampungan yang paling mandiri justru ada di Semenanjung Melayu, khususnya di Selangor dan Linggi. Namun demikian, pengaruh politik yang paling besar, ada di Johor/Riau di mana pada tahun 1722 Bugis mengembalikan kedudukan anak penguasa yang lalu ke posisi Yang Dipertuan Muda, di mana kekuasaan nyata terletak.[18]Hampir dapat dipastikan bahwa para penguasa Melayu menolak status yang sebelumnya tidak ada yang dimiliki para pendatang Bugis dan keturunannya.

Dalam penuturan Sultan Muhammad Jiwa dari Kedah (w.1779): “Riau, Johor, Selangor dan Kelang dulunya dikuasai oleh raja-raja Melayu dan ditempati orang Melayu….orang Bugis datang dan menetap di Riau dan kemudian ke Selangor dan dari Selangor kemudian ke Kelang. Kita tidak tahu darimana orang Bugis mendapatkan kekuasaan mereka di daerah-daerah tersebut”.[19]

Penguasa Palembang, Sultan Mahmud (1724-57), yang leluhurnya telah membangun kekuasaan di Bangka ratusan tahun sebelumnya, juga menampakkan sikap yang sama. Pada tahun 1720-an, penemuan tambang timah di pulau Bangka dan perluasan perdagangan ke Cina, mengakibatkan arus baru para pendatang Bugis dan Makassar. Sultan Mahmud melihat para pendatang baru ini dengan was-was. Di satu sisi mereka pedagang yang termasyhur dan juga petarung yang hebat yang tenaganya bisa menguntungkan; tapi di sisi lain, mereka juga terkenal tidak ingin menerima kekuasaan yang ada dan bahkan ingin menyerang kapal Sultan Mahmud. 

Oleh karena itulah Sultan Mahmud tidak yakin untuk mengizinkan mereka tinggal menetap di pulau Bangka, terutama setelah melihat apa yang pernah terjadi di Johor. Pada tahun 1728, misalnya, sebuah kelompok yang terdiri dari hampir lima puluh pria, wanita dan anak-anak Bugis yang tiba di Bangka dari Madura ditangkap dan dikirim kembali ke Madura. Kemudian di tahun yang sama pula kelompok lima orang Bugis muncul sebagai utusan dari Selangor, meminta izin untuk berdagang. Walaupun mereka diijinkan untuk kembali dengan selamat, barang-barang mereka diambil. 

Pada tahun 1729 anak Raja Bone yang bernama Arung Mappala tiba di Bangka dari Banjarmasin dan berhasil menegaskan kekuasaannya atas sekitar empat ratus orang Bugis penambang timah. Bersekutu dengan anak raja saingannya, yaitu saudara laki-laki Sultan Mahmud, Arung Mappala membuat rencana untuk mengambil-alih kekuasaan atas keseluruhan pulau Bangka, dan pasukannya hanya bisa dikalahkan dengan bantuan dari Belanda.[20] Sehingga, walaupun keahlian berdagang dan bertempur para pendatang Bugis dan Makassar sangat dikagumi, para penguasa di selat Malaka khawatir akan tujuan-tujuan dan ambisi mereka.

Dalam konteks inilah kita dapat menguji tema perbuatan zina yang sangat mengakar dalam Carita Bangka, tidak hanya sekedar menerangkan mengapa Sri Gading muncul di Bangka, tetapi juga menerangkan mengapa kakak-beradik yang berasal dari Palembang yang badannya ditemukan Sri Gading itu meninggal. Sementara tidak ada keraguan bahwa orang Melayu umumnya membenci perbuatan zinah, larangan-larangan yang berhubungan dengan zina tampaknya memiliki tempat tersendiri dalam budaya penduduk asli Bangka. 

Orang Lom dari Bangka bagian timur laut, misalnya, menyebut perbuatan zina dengan kata buyong, yang bukan istilah standar bahasa Melayu, yang memberi kesan bahwa istilah tersebut memiliki sejarah yang panjang. Olaf Smedal membantah, pada kenyataannya, pandangan orang Lom tentang perbuatan zinah sebagai kejahatan yang hina juga berhubungan dengan persepsi mereka tentang adat: inti adat terwujud dalam aturan-aturan tentang perbuatan zina dan pengabaian terhadap aturan-aturan itu membahayakan identitas budaya yang paling mendasar. Tentu saja, bagi orang Lom nasib pasangan kakak-adik dari Palembang itu, yang mati digigit ular, hanyalah menguatkan hukuman yang konon merupakan balasan atas dosa besar yang telah mereka perbuat.[21]

Pemindahan tema perbuatan zinah pada cerita Sawérigading ke dalam versi cerita Sri Gading pantas mendapat perhatian. Menurut naskah La Galigo, Sawérigading dibesarkan terpisah dari saudara perempuannya Wé Tenriabéng tepatnya untuk menghindari kemungkinan berbuat zina. Walaupun ketertarikan Sri Gading dengan saudara perempuannya itu tidak bisa diredam, peran Wé Tenriabéng sendiri mencegahnya dari zina. Seperti ibunya mengingatkan, ‘Dilarang menjadi pasangan suami istri/karena bersaudara kandung/kalau itu terjadi maka kamu menciptakan bencana di negeri mu sendiri.’ (Risapā siparukkusenngédé/taué lé massélingéreng/Apaq pajaneng mulingérang ngi solang tanamu)’.[22]

Seperti pendapat Koolhof, beberapa episode berikutnya dalam naskah La Galigo mengulangi pernyataan tema cinta antara saudara kembar laki dan perempuan ini, yang diikuti dengan kisah perjalanan seorang pria ke luar negeri untuk mencari pendamping hidup.[23] Dalam banyak kasus, hal ini tidak jelas apakah hubungan seksual benar-benar terjadi, tetapi Carita Bangka tidak ragu lagi menyatakan: Sri Gading bersalah karena berbuat zina, dan karena inilah dia terpaksa meninggalkan daerahnya sendiri. Walaupun dirinya sendiri dapat bertahan hidup (karena dia telah sukses dalam mencari wanita ‘baik-baik’ sebagai istrinya), dia tidak mampu menemukan jalan pulang. Ketika dia tiba di Bangka dia menemukan mayat pasangan orang Palembang yang telah membusuk yang, seperti halnya dia sendiri, bersalah karena perbuatan zinah, berikut dengan tulang belulang dari binatang yang tidak terawat.

Apakah ini merupakan pendapat yang penting mengenai Sri Gading yang telah bebas dari hukuman karena status kepahlawanannya? Apakah ini mencerminkan peringatan  dalam naskah La Galigo bahwa ’saudara sekandung tidak bisa menjadi pasangan (suami istri), /karena negeri akan tenggelam, /akan rusak binasa /tidak ada seorang pun di dunia ini yang akan selamat’? (Tempeqding to siparukkuseng massélingéreng,/apaq labū i matti lipué,/napopo reppaq tenraq mammuti/ttudang riLino lé tomaéga nalurenngé).[24]

Tema yang kedua dalam Carita Bangka adalah pembajakan dan perampokan. Benar, dalam Naskah La Galigo, Sawérigading memperlihatkan keberaniannya dengan menaklukkan lawan-lawannya di pertempuran laut, tetapi cerita epik yang asli dalam versi Bangka tidak memberikan gambaran tentang perampokan dan penangkapan paksa orang-orang dan keluarganya. Namun, tidaklah sulit untuk mengerti mengapa hubungan antara Sri Gading dan pembajakan muncul di dunia Melayu, karena selama abad ke-18 beberapa petualang Bugis dan Makassar terkenal dengan aksi pembajakan itu di Selat Malaka. Belanda, yang melihat orang Bugis membajak kapal dan menganggap penolakan orang Bugis untuk mematuhi sistem pass Belanda sebagai tantangan langsung, memperkuat keyakinan bahwa para pendatang Bugis dari Sulawesi sebetulnya ditolak oleh masyarakatnya sendiri, sebagai ‘pembajak dan kaum urakan’.[25]

Bersambung....  Sawérigading dalam Diaspora Orang Bugis: Kasus Bangka (Bagian 3)

Sebelumnya.... Sawérigading dalam Diaspora Orang Bugis: Kasus Bangka (Bagian 1)
Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Sawerigading dalam Diaspora Orang Bugis: Kasus Bangka (Bagian 2)

Terkini

Iklan

Close x