Iklan Sponsor

Iklan

Iklan Sponsor

Iklan

terkini

Panngaderreng: Kaidah-kaidah Pokok dalam Kehidupan Orang Bugis

arung sejarah
, 08:00 WIB Last Updated 2023-06-14T14:52:58Z

Panngaderreng: Kaidah-kaidah Pokok dalam Kehidupan Orang Bugis, pangadereng, pangaderreng, panngaderreng, panggaderreng, ade', wari, bicara, bugis, makassar, sulawesi selatan, adat budaya, budaya bugis, budaya makassar,  budaya sulawesi selatan, luwu, la galigo, i la galigo, idwar anwar,  sirtjo koolhof, nurhayati rahman, mattulada, la toa, latoa, prof, mattulada, Konsep Ade’ dalam Masyarakat Bugis Sulawesi Selatan: Asal Usul Kata. Dalam Latoa disebutkan, kebesaran dan kejayaan suatu Negara tergantung pada empat perkara dan baru setelah Islam masuk ke daerah ini, menjadi lima yaitu ditambah dengan apa yang disebut sara’, empat perkara itu, ialah:  (1). Adê’ (2). Rapang, (3). Bicara, (4). Wari’ dan (5). Sara’,. Dengan mengemukakan hal ini, bagi kami nyatalah bahwa adê’ baik sebagai satu sistem maupun sebagai istilah sudah ada sebelum Islam tersebar di Sulawesi Selatan, Konsep Ade’ dalam Masyarakat Bugis Sulawesi Selatan, adat, panggaderreng, budaya bugis-makassar, budaya sulawesi selatan, kebudayaan bugis-makassar, kebudayaan sulawesi selatan, budaya makassar, hari kebudayaan, idwar anwar, www.arungsejarah.com

ARUNGSEJARAH.COM - Panngaderreng: Kaidah-kaidah Pokok dalam Kehidupan Orang Bugis.

PANNGADÊRRÊNG, atau biasa ditulis pangngaderreng, panngadereng, pangngadereng, pangadereng merupakan kaidah-kaidah Pokok dalam Kehidupan Orang Bugis yang juga dipahami oleh masyarakat di Sulawesi Selatan pada umumnya, meski dalam bahasa yang berbeda. Panngadêrrêng dibangun oleh banyak unsur yang saling menguatkan. Panngadêrrêng meliputi hal-ihwal adê’, tentang bicara, tentang wari’, dan tentang sara’.

Dalam buku Latoa, Satu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis karya Prof. Mattulada menyebutkan bahwa ada kalanya orang memahami konsep panngadêrrêng sama dengan aturan-aturan adat dan sistem norma saja. 

Panngadêrrêng selain  meliputi aspek-aspek yang disebut sistem norma dan aturan-aturan adat, yaitu hal-hal ideal yang mengandung nilai-nilai normatif, juga meliputi hal-hal di mana seseorang dalam tingkah lakunya dan memperlakukan diri dalam kegiatan sosial, bukan saja merasa “harus’ melakukannya, melainkan lebih jauh dari itu, ialah adanya semacam “larutan perasaan” bahwa seseorang itu adalah bagian integral dari panngadêrrêng.

Panngadêrrêng adalah bagian dari dirinya sendiri dalam keterlibatannya dengan keseluruhan pranata-pranata masyarakatnya.

Panngadêrrêng dengan demikian dapat dikatakan adalah wujud kebudayaan yang selain mencakup pengertian sistem norma dan aturan-aturan adat serta tata tertib, juga mengandung unsur-unsur yang meliput seluruh kegiatan hidup manusia bertingkah laku dan mengatur perasaan kehidupan berupa peralatan-panalatan material dan non-materiil.

Sistem norma dan aturan-aturan adat dalam kehidupan orang Bugis disebut Adê’. Adê’ adalah salah satu aspek panngadêrrêng yang mendominasi kehidupran masyarakat, karena adê’ meliputi segala keharusan tingkah laku dalam kegiatan-kegiatan orang Bugis. Adê’ berarti tata tertib bersifat normatjf, yang memberikan pedoman kepada sikap  hidup dalam menghadapi, menanggapi, dan menciptakan kebudayaan, baik ideologis, mental spiritual maupun fisik.

Semenjak seseorang lahir di dunia, menghirup udara di luar rahim ibunya, memperdengarkan tangis kehadirannya, ia pun diperlakukan sebagai pendatang baru ke dalam panngadêriêng. Ketika ia masih menyatu dengan ibu yang mengandungnya, ia telah diperlakukan dalam panngadêrrêng sebagai satu eksistensi.

Anak itu kemudian tumbuh dalam asuhan panngadêrrêng, memiliki dan kemudian berperan pula di dalamnya. Ia menjaga dan memelihara panngadêrrêng yang telah memotivasi segala sikap, tingkah laku dan perbuatannya dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan.

Panngadêrrêng telah memungkinkan ia melihat, mengetahui dan memiliki dunianya. Tak ada pilihan baginya, selain sebagaimana layaknya ia harus bersikap dan berbuat terhadap diri dan segala sesuatu di luar dirinya. 

Panngadêrrêng adalah dunianya. Panngadêrrêng adalah dirinya sendiri bersama segala yang bergantung padanya dan yang menjadi tempat bergantungnya. Ia tidak mempunyai kebebasan mutlak memberikan nilai kepada sesuatu di luar dirinya, terlepas dari nilai-nilai umum yang bersumber dari panngadêrrêng, sebagai pola umum yang harus diikuti seteguh-teguhnya. Itu telah menjadi kebiasaan selama hidup dan orang sulit untuk meninggalkannya.

Kebiasaan itu berperan sangat besar dalam menentukan pola tingkah laku manusia. Akan tetapi, bukan hanya kebiasaan itu satu-satunya faktor yang menentukan terjadinya pola-pola bertingkah laku yang diwariskan dari generasi ke generasi, sehingga menimbulkan kesulitan untuk merubahnya.

Kalau kebiasaan itu telah menjadi sistem dalam Panngadêrrêng, dalam arti kebiasaan yang dihormati dan dipelihara, maka kita akan sampai pada dugaan bahwa dengan mengikuti dan menaati dengan saksama semua adat dan peraturan-peraturannya sebagai aspek panngadêrrêng, segala sesuatu akan terselesaikan dengan sendirinya, atau segala sesuatunya akan berjalan dengan sepantasnya.

Hal itu, niscaya tidak demikian adanya. Dugaan bahwa segala sesuatunya akan beres dan lancar, ketika segala peraturan kebiasaan dan adat diikuti dengan cermat dan saksama, merupakan suatu kekeliruan.

Apabila panngadêrrêng adalah kebiasaan atau aturan-aturan yang sudah dibiasakan saja, maka akan hilanglah salah satu hakikat panngadêrrêng yaitu memelihara dan menumbuhkan harkat dan nilai-nilai insani, yang justru menjadi tulang punggung untuk tegaknya panngadêrrêng.

Kebiasaan atau aturan-aturan adat yang dibiasakan justru malah dapat menjerumuskan harkat dan martabat manuasia ke dalam jurang kebinasaan. Dapatkan disebut cocok dengan panngadêrrêng, apabila suatu waktu masyarakat sudah menerinna kebiasaan atau aturan-aturan yang diadatkan berupa kekerasan dan penindasan sebagai satu sistern sosial?

Selaku adat kebiasaan, aturan yang dibiasakan, tentu dapat disebut adat, tetapi ia bukan panngadêrrêng dalam arti esensiil. Adat yang demikian akan dilawan oleh panngadêrrêng, karena panngadêrrêng justru membangun martabat dan harkat insani (Latoa; al. 50).

Adanya kebebasan untuk memilih alternatif bagi rakyat untuk membunuh rajanya untuk menurunkan raja dari tahtanya dan untuk meninggalkan negerinya, apabila terjadi pemaksaan suatu sistem yang  meninggalkan hakikat terdalam dari panngadêrrêng, menunjukkan betapa panngadêrrêng memilik satu esensi untuk menjujung tinggi martabat manusia yang sesungguhnya.

Oleh karena itu, ada sesuatu yang membedakan antara panngadêrrêng dengan adat dalam arti kebebasan. Satu adat dalam arti kebiasaan, dapat mengundang kesewenang-wenangan dan akhirnya diterima sebagaimana adanya dalam sistem  sosial. 

Panngadêrrêng menolak setiap kesewenang-wenangan, pemerkosaan, penindasan dan kekerasan sebagai unsur dalann sistemnya, bagaimanapun hal itu telah menjadi kebiasaan. Panngadêrrêng melekat pada hakikat martabat manusia. Ia menjunjung tinggi persamaan dan kebijaksanaan.

Oleh karena itu, panngadêrrêng mendapatkan kekuatannya dari siri’ sebagai nilai esensial dari manusia. Siri’ itu tidak lain dari martabat dan harga diri manusia. (Latoa, al. 82). Orang Bugis, ke mana pun ia mengembara akan membawa serta panngadêrrêngnya yang dilandaskan pada konsep siri’. Panngadêrrêng yang menyertainya dalam pengembara itu, memberikan corak dalam pergaulannya dalam lingkungan yang baru. Dalam pengembaraan, orang Bugis banyak sekali memperoleh tanggapan-tanggapan sebagai gejala stereotip. Ia dianggap orang liar, pengamuk bengis, kasar, keras kepala, dan ada kalanya sukar untuk dipahami.

Panngadêrrêng dibangun oleh banyak unsur yang saling menguatkan. Panngadêrrêng meliputi hal-ihwal adê’, tentang bicara, tentang wari’, dan tentang sara’. (Latoa; 48-49). Semua itu diperteguh dalam satu rangkuman yang melatarbelakanginya, yaitu satu ikatan yang paling mendalam siri’. (Latoa; al. 132)

Dari bahan-bahan ini dapat diidentifikasikan bahwa aspek-aspek ideal dari panngadêrrêng mengandung 4 asas dasar, yang menjadi latar belakang dari keempat asas itu. Keempat asas itu ialah:

1.     Asas mappasilasa’e, diwujudkan dalam manifestasi adê’ agar terjadi keserasian dalam sikap dan tingkah laku manusia di dalam memperlakukan dirinya dalam panngadêrrêng. Di dalam tindakan-tindakan operasionalnya ia menyatakan diri dalam usaha-usaha pencegahan (preventif), sebagai tindakan-tindakan penyelamat (Latoa, al. 31.)

2.     Asas mappaasisaue, diwujudkan dalam manifestasi adê’ untuk mernberikan hukuman pada tiap-tiap pelanggaran adê’ yang dinyatakan dalam bicara. Asas ini menyatakan adanya pedoman legalitas dan represif yang sangat konsekuen dijalankan. Di samping itu, asas ini dilengkapi dengan siariwawong yang diwujudkan dalam manifestasi adê’, untuk menyatakan adanya perlakuan yang sama, mendidik setiap orang untuk mengetahui yang benar dan yang salah. Hal ini dinyatakan dalam pangorisêng yang erat hubungannya dengan bicara (Latoa; al. 31.).

3.     Asas mappasênrupae diwujudkan dalam menifestasi adê’ untuk memelihara kontinuitas pola-pola yang sudah ada lebih dahulu, guna menstabilitas perkembangan-perkembangan yang muncul. Hal ini dinyatakan dalam rapang (Latoa; al. 31).

4.     Asas mappallaisêng. Diwujudkan dalam manifestasi adê’ untuk mernberikan batas-batas yang jelas tentang hubungan antara manusia dan lembaga-lembaga sosialnya, sehingga masyarakat terhindar dari ketidaktertiban, chaos dan lain-lain. Hal ini dinyatakan dengan wari’ dan dalam segala variasi perlakuannya (Latoa; al. 31).

Keempat asas ini, masing-masing ditemukan dalam pelbagai bentuk aspek ideal dari panngadêrrêng. Ia menyatakan diri dalam keseluruhan sistem untuk membangun pribadi-pribadi yang bertitik tumpu pada harga diri manusia yang terjelma dalam konsepsi siri’. Siri’ inilah yang menjadi diri asas terdalam dari pada semua kegiatan manusia memperlakukan dirinya dalam aspek-aspek panngadêrrêng lainnya. (Latoa; al. 57). (red)

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Panngaderreng: Kaidah-kaidah Pokok dalam Kehidupan Orang Bugis

Terkini

Iklan

Close x