Iklan Sponsor

Iklan

Iklan Sponsor

Iklan

terkini

Teknologi Berburu Orang Toala di Bantaeng pada 4700 Tahun Lalu

arung sejarah
, 11:30 WIB Last Updated 2023-06-10T12:44:25Z

ARUNGSEJARAH.COM - Teknologi Berburu Orang Toala di Bantaeng pada 4700 Tahun Lalu.

BUTTA Toa sebuah julukan untuk menyebutkan wilayah Bantayang atau Bonthain yang kini disebut sebagai Bantaeng yang merupakan salah  satu kabupaten yang ada di Sulawesi Selatan.

Nama Bantayang merupakan salah satu wilayah yang disebutkan Empu Prapanca dalam karyanya Negarakertagama dalam Pupuh 14 yang ditulisnya pada tahun 1365.

Disebutkannya nama Bantaeng dalam Negarakertagama ini memberikan indikasi bahwa wilayah Bantaeng cukup diperhitungkan pada masa itu oleh Kerajaan Majapahit yang banyak menguasai wilayah di Nusantara.

Selain itu, nama Butta Toa juga menyimpan banyak misteri masa lalu, salah satunya tentang kehidupan Orang Toala yang hidup sekitar 4.700 tahun lalu di sekitar Kawasan Batu Ejaya, seperti yang diungkap dalam buku Butta Toa “Jejak Arkeologi Budaya Taola, Logam, dan Tradisi Berlanjut di Bantaeng” yang disunting M. Irfan Mahmud bersama Budianto Hakim yang terbit pada tahun 2017.

Pada tulisan sebelumnya, kita telah membahas mengenai misteri kehadiran orang Toala di Bantaeng dan makanan apa saja yang dikonsumsi orang Toala untuk bertahan hidup.

Lalu bagaimana orang Toala melakukan perburuan hewan dan alat apa saja yang digunakan pada masa itu?

***

Banyak yang bertanya, peralatan apa saja yang digunakan Orang Toala memenuhi kebutuhan hidupnya, khususnya alat-alat rumah tangga dan dalam melakukan perburuan.

Berdasarkan artikel yang ditulisnya dalam buku Butta Toa “Jejak Arkeologi Budaya Taola, Logam, dan Tradisi Berlanjut di Bantaeng”, M. Irfan Mahmud mengungkapkan bahwa Orang Toala di Bantaeng diketahui telah menemukan inovasi teknik penyerpihan khas yang banyak digunakan sebagai alat rumah tangga dan berburu.

download buku pdf gratis Teknologi Berburu Orang Toala di Bantaeng pada 4700 Tahun Lalu

Berdasarkan Uji statistik metode Wilcoxon Test (Nonmetrik-test) yang dipakai arkeolog, dapat menggambarkan bahwa ketika saudara mereka yang berada di Gua Maros-Pangkep, misalnya, mewariskan pengalaman memilih chert  atau Batuan sedimen laut dalam, sebagai bahan utama yang mudah didapat, Orang Toala di Bantaeng justru mulai berfikir memanfaatkan kelimpahan batuan vulkanik.

Apalagi sebaran boulder dan bongkahan batuan vulkanik dari formasi batuan gunung api hasil erupsi parasite tersebar luas di kawasan mereka.

Inilah yang kemudian menjadi pilihan sumber bahan baku alternatif teknologi peralatan orang Toala di Bantaeng.

Meskipun demikian, menurut, Irfan Mahmud yang juga seorang Doktor Antropologi dan Kepala Balai Arkeologi Sulawesi Selatan, Orang Toala cenderung selalu memilih bahan batuan chert berkelas, sementara batuan vulkanik hanya menjadi alternatif.

Bahan batuan vulkanik bukanlah bahan primadona dalam pembuatan peralatan bagi Orang Toala, meskipun di lingkungannya sangat berlimpah.

Berhubung sumber chert jauh dari kampung hunian Orang Toala di Bantaeng, maka penyerpihan awal selalu dilakukan di luar kawasan situs, terutama serpihan panjang berbentuk bilah.

Mereka hanya membawa bahan potensial pulang untuk mengurangi beban angkut, sehingga sisa sampah chert sedikit sekali ditinggalkan di lingkungan situs gua atau ceruk huniannya.

Sebaliknya, bahan vulkanik sangat melimpah di sekitar mereka. Karena itu, jejak artefak sampah sisa penyerpihannya banyak ditemukan di dalam teritori huniannya.

Ini merupakan bentuk adaptasi dan strategi hidup mereka.

Pembuatan alat geometrik mikrolit berciri teknologi lokal khas, secara mandiri telah dibuktikan dengan temuan alat batu untuk memproduksinya di Situs Batu Tuda (Mulvaney dan Soejono, 1970; Chapman, 1981; Bulbeck et al., 2000).

Dalam teknologi Orang Toala di kawasan prasejarah Batu Ejaya, penyerpihan awal cenderung lebih kecil dan heterogen.

Mereka menyerpih batu inti dengan teknik bipolar (dua arah berlawanan) dan radial (melingkar).

Dalam kehidupan sehari-hari Orang Toala, serut dan bilah digunakan untuk mengolah bahan vegetasi seperti bambu, buah dan daun-daunan, sebagaimana jejak pakai terlihat pada kilapan artefak.

M. Irfan Mahmud juga mengungkapkan, bahwa berdasarkan beberapa temuan artefak, diketahui pula bahwa Orang Toala di Bantaeng lebih banyak menggunakan alat serut, dibanding bilah (pisau).

Bilah hanya digunakan untuk memotong bambu atau ranting-ranting.

Dengan data arkeologi tersebut, menunjukkan bahwa kegiatan meramu vegetasi hutan, lebih dominan dibandingkan berburu.

Berdasarkan temuan tersebut, Dapat diduga bawah peran kaum perempuan cukup vital dalam sistem budaya Orang Toala di Bantaeng.

Lantas, apakah ruang hunian Orang Toala merupakan teritori mutlak dari kaum hawa, sebagaimana pembagian peran gender penduduk Bantaeng sekarang?

Persoalan ini tentunya masih butuh penelitian-penelitian lebih lanjut dengan cakupan yang lebih luas dan intensif.

Tonton Videonya di Youtube IDWAR ANWAR

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Teknologi Berburu Orang Toala di Bantaeng pada 4700 Tahun Lalu

Terkini

Iklan

Close x