Iklan Sponsor

Iklan

Iklan Sponsor

Iklan

terkini

Inilah Situs-situs Zaman Megalitik di Bantaeng

arung sejarah
, 13:33 WIB Last Updated 2023-06-10T12:47:03Z
download buku gratis pdf zaman megalitik di Bantaeng

ARUNGSEJARAH.COM - Inilah Situs-situs Zaman Megalitik di Bantaeng.


BUTTA Toa sebuah julukan untuk menyebutkan wilayah Bantayang atau Bonthain yang kini disebut sebagai Bantaeng yang merupakan salah  satu kabupaten yang ada di Sulawesi Selatan.

Empu Prapanca, bahkan nama Bantayang dalam karyanya Negarakertagama dalam Pupuh 14 yang ditulisnya pada tahun 1365.

Disebutkannya nama Bantaeng dalam Negarakertagama ini memberikan indikasi bahwa wilayah Bantaeng cukup diperhitungkan pada masa itu oleh Kerajaan Majapahit yang banyak menguasai wilayah di Nusantara di masa itu.

Butta Toa Bantaeng, menyimpan banyak misteri masa lalu yang akan diungkap pada beberapa video di channel ini.

Pada tulisan kali ini, kita telah mengungkap mengenai situs-situs prasejarah Mengalitik yang ada di Bantaeng.

***

Nama Bantaeng dalam Rekonstruksi Kebudayaan, mempunyai sejarah-kebudayaan yang sangat panjang dari masa yang sangat tua.

Berdasarkan artikel yang ditulis Dr. Hasanuddin, M.Hum berjudul Tradisi Megalitik di Bantaeng, terdapat 5 Situs megalitik yang berhasil ditemukan di wilayah Bantaeng.

Situs-situs tersebut yakni Situs Onto, Situs Gantarangkeke, Situs Lembang Gantarangkeke, Situs Borong Toa (atau Sinowa) dan Situs Soerabaja.

1.    Situs Onto

Situs ini merupakan perkampungan seluas kurang lebih 5 hektar di lereng Gunung Lompobattang. Situs Onto lebih dikenal oleh masyarakat dengan sebutan Situs Balla Tujua (atau tujuh rumah).

Penyebutan balla tujua merujuk pada jumlah rumah di atas puncak tebing sebagai pusat seremonial, yang di masa lalu pernah menjadi simbol kebesaran wilayah Onto.

Semua bangunan balla tujua di Situs Onto merupakan tempat tinggal, 6 unit rumah menghadap ke utara, hanya 1 unit menghadap ke selatan.

Secara keseluruhan, morfologi ruang fisik Situs Onto berbentuk terasteras, terdiri dari lima teras. Teras pertama terdapat tujuh altar, ditata membujur timurlaut—baratdaya, disebut sebagai batu pallantikang, yaitu tempat pelantikan raja-raja.

Dari ketujuh altar batu tersebut, empat diantaranya memiliki lubang-lubang dakon, sementara dua lainnya tidak dapat diidentifikasi komposisi lubangnya karena sudah aus (Gambar 1).

Satu di antara altar batu memiliki lubang dakon sebanyak 14 bagian. Beberapa bagian permukaannya memiliki 12 goresan berbentuk garis-garis lurus.

2.    Situs Gantarangkeke

Situs ini terletak diantara percabangan dua sungai, yaitu Sungai Patte yang mengalir di sebelah timur dan Sungai Biangkeke yang mengalir di sebelah barat.

Sungai Biangkeke dikenal sebagai bagian area situs awal terbentuknya Kerajaan Bantaeng.

Di dalam lingkungan Situs Gantarangkeke ditemukan beberapa monumen batu megalit. Monumen megalit utama terdiri dari tiga bagian, yaitu:

(1) pocci butta (atau yang berartinya pusat bumi), merupakan monumen megalit berupa susunan batu temu gelang berbentuk melingkar; (2) passaungang tauwa, yakni tempat mengadu kekuatan manusia; (3) pallayangang Iloe, yakni tempat raibnya Tomanurung Karaeng Loe.

Selain megalit utama, ditemukan pula altar dan dakon yang memiliki 14 lubang.

Di bagian lain dari situs terdapat pula susunan batu yakni yang dikenal dengan nama raraya, yaitu tempat penyembelihan hewan dalam rangkaian ritual. Ada pula batu tegese, yaitu batu alam berbentuk bulat sebagai sarana ritual; dan batu pattiroang, yaitu monumen batu untuk memantau situasi keamanan sekitar situs.

3.    Situs Lembang Gantarangkeke

Situs Lembang Gantarangkeke terletak 10 km ke arah utara, pada sebuah semenanjung di antara Sungai Biangkeke dan Sungai Patte, atau di sebelah utara sekitar 2 km dari Gantarangkeke.

Di Situs Lembang Gantarangkeke terdapat beberapa benda alam yang disakralkan. Penduduk menjadikan benda sakral tersebut sebagai sarana ritual pada waktu-waktu tertentu.

Ritual-ritual masyarakat di Lembang Gantarangkeke merupakan suatu bentuk pewarisan pengetahuan secara turun-temurun hingga sekarang.

Tempat ritual dilaksanakan ditandai dengan pohon besar dan batu alam berbentuk bulat. Masyarakat menyakini pada tempat tersebut Tomanurung muncul, suatu peristiwa kehadiran manusia sebagai cikal bakal lahirnya pemerintahan kerajaan.

Batas areal sakral tempat Tomanurung muncul, ditandai dengan batu-batu andesit, disusun berbentuk persegi panjang dengan ukuran 12 x 10 meter.

Di dalam area sakral, selain terdapat batu berbentuk bulat yang disebut pannurungang (tempat munculnya Tomanurung), juga terdapat beberapa batu yang ditata dan dianggap masyarakat sebagai paccidongang (tempat duduk).

Kedua penanda yang menggambarkan peristiwa Tomanurung itu masih sering menjadi medium ritual, dibuktikan dengan masih terdapatnya ikatan daun sirih dan kelapa, suatu bentuk sesajen yang umum dipersembahkan pada beberapa tempat sakral di Bantaeng.

4.    Situs Borong Toa (Sinowa)

Situs Borong Toa terletak di Desa Borong Toa, Kecamatan Ulu Ere, Kabupaten Bantaeng.

Di situs ini, ditemukan beberapa bentuk megalitik seperti susunan batu temu gelang, batu pemujaan, dan lumpang batu.

Batu pemujaan berbentuk bulat digunakan sebagai media ritual adat, yang disebut “saukang”.

Penanda medium, berupa batu vulkanik, berukuran tinggi 160 cm dan diameter 150 cm. Situs ini masih sering dikunjungi oleh penduduk di bagian selatan untuk ritual syukuran atau menyampaikan nazar.

Jejak aktivitas ritual, masih dapat dilihat dari lilitan benang yang mengelilingi batu saukang. Selain itu terdapat pula persembahan, seperti telur ayam, buah pinang, daun sirih dan kelapa.

Di sisi selatan situs ini, tidak jauh dari sungai, terdapat berbagai bongkahan batu berlubang, diidentifikasi sebagai lumpang. Beberapa lumpang batu mempunyai diameter lubang antara 30 - 80 cm; hanya beberapa lumpang memiliki diameter lubang kecil, yaitu 12 cm.

Bentuk lubang mengerucut ke bawah dengan permukaan halus. Ciri fisik permukaan lumpang ini mengindikasikan bekas pemakaian intensif untuk menumbuk biji-bijian.

Material untuk bahan lumpang batu tersebut cukup tersedia di daerah aliran sungai. Ini berarti bahwa masyarakat memanfaatkan sumber daya alam di sekitar permukimannya.

Di bagian lain dalam situs ini ditemukan juga susunan batu vulkanik berbentuk persegi panjang, terletak di tengah kebun di sebelah selatan jalan kampung.

Belum diketahui fungsi bentuk megalitik ini. Penduduk di sekitar temuan megalit ini juga tidak mengetahui

fungsinya. Namun secara komparatif bahwa bentuk monumen seperti ini juga terkait dengan ritual budaya masyarakat.

5.    Situs Soerabaja

Situs ini terletak sekitar 800 meter dari jalan poros antara Bantaeng dengan Bulukumba. Secara administratif situs ini termasuk wilayah Desa Biangkeke, Kecamatan Pajjukukang.

Situs Soerabaja kurang dikenal oleh masyarakat sekarang, karena toponim itu berhubungan dengan berbagai kepentingan aktivitas kemaritiman Bantaeng di masa lampau.

Nama Soerabaja mungkin diambil dari nama salah satu kota di Jawa Timur. Menurut Bougas (1996), situs Soerabaja dahulu berperan sebagai pelabuhan.

Di dalam situs banyak dijumpai batu-batu andesit bulat, ditata dengan berbagai variasi bentuk. Pada umumnya penataan berbentuk persegi panjang, menyerupai bentuk makam.

Namun, penanda (nisan) sebagaimana lazimnya pada situs-situs Islam tidak ditemukan. Sehingga, jika situs tersebut berupa makam, maka kemungkinan situs tersebut sebagai lokasi pemakaman para pendatang dari luar Bantaeng.

Masyarakat sekitar situs, juga tidak mengetahui fungsi dari bentuk susunan batu-batu andesit itu.

Secara kontekstual, temuan batu-batu andesit, berasosiasi dengan fragmen gerabah dan keramik, sehingga situs itu, mungkin pernah memiliki keterkaitan toponim sejarah awal Bantaeng.


Sumber:

Andaya, Leonard Y (1993). The World of Maluku, Eastern Indonesia in the Early Modern Period, University of Hawaii Press, Honolulu.

Blonk, Dr. A. (1938). Cornelis De Houtman, En Het Begin Onzer Zeevaart Op Indië 1565—1599. V. A. Kramers - Rijswijk (Z.-H.).

Brierley, Joanna Hall (1994). Spices, The Story of Indonesia’s Spice Trade. Oxford University Press.

Reid, Anthony. (2000). Charting the Shape of Early Modern Southeast Asia.  Berkeley, UC Berkeley.

Wright, Clifford A. (2007). “The Medieval Spice Trade and the Diffusion of the Chile”, Gastronomica, 7 (2): 35-43. Diakses dari http://online.ucpress.edu/gastronomica/article-pdf/7/2/35/148072/gfc_2007_7_2_35.pdf by guest on 14 June 2020.

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Inilah Situs-situs Zaman Megalitik di Bantaeng

Terkini

Iklan

Close x