Iklan Sponsor

Iklan

Iklan Sponsor

Iklan

terkini

Pelayaran Sawerigading (Perekat Integrasi Nusantara) Bagian IV

arung sejarah
, 10:49 WIB Last Updated 2023-06-14T04:05:08Z
ARUNGSEJARAH.COM - Pelayaran Sawerigading (Perekat Integrasi NUsantara) Bagian IV, Epos La Galigo, La Galigo; Turunnya Manusia Pertama,La Galigo, Novel , Pelayaran Sawerigading (Perekat Integrasi Nusantara), Mukhlis Paeni, Epos La Galigo, La Galigo; Turunnya Manusia Pertama (1) Bab 1 , La Galigo, Novel La Galigo, Idwar Anwar, Sirtjo Koolhof, Nurhayati Rahman, Muhammad Salim, Muh. Salim, Penerjemahan La Galigo, Sureq Galigo, Kitab Galigo, I La Galigo, Roger Tol, Warisan La Galigo, Boting Langiq, Dunia Atas, Dunia Bawah, Dunia Tengah, Luwuq, Luwu, Ale Luwuq, Sawerigading, I We Cudaiq,
Prof. Dr. A. Rasyid Asba

ARUNGSEJARAH.COM - Pelayaran Sawerigading (Perekat Integrasi Nusantara) Bagian IV.

IV

KECENDERUNGAN penokohan Sawerigading di berbagai tempat yang ditelah disebutkan di atas tidak lepas dari munculnya teori behavioral tentang kemunculan suatu tokoh. Aliran behavioral itu sangat berpengaruh  di dalam  ilumu-ilmu sosial, khususnya ilmu politik. Aliran ini berkembang begitu jauh dan begitu pesatnya, sehingga dikatakan  mencapai kesempurnaan metodologis di dalam pencapaian pemahaman seorang tokoh. Namun parodi konyol dari pendekatan seperti ini sering juga muncul dalam aplikasinya sehari-hari. Kadang-kadang muncul semacam ucapan naif, bahwa tabiat dan tempramen tokoh-tokoh itulah menentukan corak zaman. Sawerigading, misalnya, tidak dikenang jika tidak mengisahkan  pelayarannya dari Luwuq ke Tanah Cina; tidak dikenang jika ia tidak jatuh cinta pada saudara kembarnya We Tenriabeng, tidak dikenang jika ia tidak mengawini I We Cudai yang cantik jelita; tidak dikenang jika penokohannya hanya di Tanah Luwuq, tetapi karena ia sampai mengarungi  nusantara, seperti  tanah Taranati, Maloku, Malaka, Mancapaiq dan Ulio.

Di dalam literatur politik,  pandangan  behavioral  memberikan  tekanan utama  di dalam hal-hal psikologis seorang tokoh. Hampir seluruh perlengkapan teoretis dapat menjelaskan peran tokoh di dalam sejarah, baik secara sadar dan kecanggihan metodologis, maupun di dalam analisa jalanan tentang peristiwa-peristiwa politik, pada umumnya.[1]

Paradigma utama dalam membahas tokoh suatu zaman adalah paradigma psikologis, sehingga tinjauan penokohan sang tokoh adalah tinjauan behavioral. Di mana letak  paradigma utama mereka? Seluruh tinjauannya didasarkan pada “permainan” interaktif tiga komponen utama berikut ini:

Pertama, adalah faktor lingkungan dalam arti yang luas yang menyangkut lingkungan sosial, politik dan ekonomi. Namun ada lagi kualifikasi lain tentang lingkungan. Lingkungan itu tidak dengan sendirinya mempengaruhi pribadi seseorang, tetapi lingkungan sebagaimana ditafsirkan oleh seseorang melalui teks (lontaraq) atau dituturkan dalam bentuk lisan secara turun temurun. Dalam hal itu yang penting adalah bagaimana memahami sang tokoh melalui lingkungannya (environment as perceptived). Jadi persepsi lingkungan itulah  yang lebih penting dan lebih merasuk mempengaruhi sikap seseorang. Lingkungan inilah yang pada gilirannya akan membentuk komponen kedua, yaitu yang disebut sebagai predisposisi, yaitu suatu kecenderungan psikis yang sudah siap untuk memberikan reaksi tertentu secara psikologis, tergantung dari rangsangan, stimulus yang diberikan. Dalam hal itu persepsi tentang lingkungan dianggap lebih penting dari pada lingkungan itu sendiri, artinya rekonstruksi psikologi masuk sepenuhnya menggambarkan sang tokoh[2]. Aspek kognitif yaitu pengetahuan, informasi sang tokoh penting untuk mengisahkan tindakan dan pengalamannya. Komponen ketiga ialah respon politik (political response) dari seseorang. Dalam hal ini bisa dikatakan bahwa respon memahami tokoh seperti Sawerigading akan berbeda misalnya dengan La Pallawagauq.           

Kalau memahami tokoh-tokoh yang ditampilkan di sini, maka mereka bisa  dibagi dalam beberapa kategori berdasarkan lingkungan historis yang berbeda yang pada gilirannya akan menghasilkan perilaku politis yang berbeda. Lingkungan politik tertentu melalui pemitosan  memberikan suatu pengaruh yang sangat besar membentuk suatu pematangan yang dikisahkan dalam epos La Galigo.

Tokoh Sawerigading, bukan tokoh simbolik dalam sejarah yang tidak punya kaitan dalam kehidupan dunia realitas masyarakat pendukungnya. Meskipun dia adalah keturunan dewa (Batara Guru), tapi dalam kenyataan Sawerigading telah melebur dalam kehidupan rakyat. Dia, berpola tingkah laku seperti layaknya manusia biasa. Dia mempunyai nafsu, kawin, merantau, jadi pelaut, dan memiliki perasaan rindu terhadap kampung halamannya. Dari ciri sifatnya ini, maka terlihat bahwa dia sebagai pemimpin mempunyai tanggung jawab moral terhadap kampung halamannya dan terhadap rakyat yang dipimpinnya.

Tokoh mitos yang digambarkan dalam historiograf tradisional itu, sama sekali tidak ada kaitannya dengan dunia realitas masyarakat pendukungnya. Tokoh mitos itu tetap berada di dunia atas, tidak turun ke dunia bawah, dan tidak pula melebur dalam kehidupan rakyat. Sedang Sawerigading, turun ke dunia bawah dan melebur dalam kehidupan masyarakat. Tapi yang menarik bahwa Sawerigading merupakan medium dua dunia tersebut. Dia merupakan wakil dari dunia bawah untuk mengetahui apa yang menjadi prasyarat dunia atas agar segenap manusia terhindar dari bencana. Kontak dunia atas dengan dunia bawah yang dijembatani oleh Sawerigading, menyebabkan kehidupan spiritualisme yang merangsang lahirnya upacara adat berkembang hingga saat ini. Contoh yang aktual dapat dilihat dalam tradisi penghormatan arwah orang tua, memelihara benda pusaka, meneruskan tradisi lisan dari Sawerigading dan lain-lain. Ini semua dapat dijadikan bukti sejarah dalam kaitan menempatkan tokoh Sawerigading sebagai tokoh sentral kebudayaan.

Tokoh Sawerigading yang merupakan tokoh sentral dalam masyarakat Sulawesi, tidaklah memiliki ciri yang memperlihatkan unsur superior yang inferior dalam kehidupan budaya. Sawerigading, justru memperlihatkan konsep kesatuan budaya di kalangan pendukung-pendukungnya. Kesamaan ciri budaya yang terlihat, baik yang terdapat dikalangan berbagai kelompok etnik di Sulawesi, maupun yang berada di luar Sulawesi, semua menunjukkan sikap terbuka dalam menghadapi kenyataan hidup. Dia dapat diterima oleh para pendukungnya berdasarkan pola berpikir tradisional. Sebaliknya dia pun dapat diterima oleh manusia yang telah menerima konsep pemikiran modern.

Bersambung.... Pelayaran Sawerigading (Perekat Integrasi Nusantara) Bagian V

Sebelumnya.... Pelayaran Sawerigading (Perekat Integrasi Nusantara) Bagian III 


[1]  Suatu studi yang menarik  adalah serial yang membahas  politik makro dan mikro editor  Fred I Hreenstein dan NelsonW.  Polsby, Hand Book of Political Science, Addison-Wesley Publishing Company, Reading, Massachussetts; London, Amsterdam, Sydney, 1975.

[2] Secara teoretis  seluruh paradigma tersebut  di atas bisa dirumuskan  secara matematis. Behavior, tingkalaku adalah fungsi dari  predisposition, sikap dan  environment. Untuk lebih jelasnya lihat hal, 5-16. Konsep ini  sebenarnya sudah dikenal oleh para ilmuan politik seperti Harold Lasswell dan Abraham Kaplan, Power and Society, A Framework for Political Inquiry, New Haven, Yale University Press. 1950.

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Pelayaran Sawerigading (Perekat Integrasi Nusantara) Bagian IV

Terkini

Iklan

Close x