Iklan Sponsor

Iklan

Iklan Sponsor

Iklan

terkini

Misteri Jejak Orang Toaala di Butta Toa Bantaeng

arung sejarah
, 10:27 WIB Last Updated 2023-06-14T15:15:22Z

ARUNGSEJARAH.COM - Misteri Jejak Orang Toaala di Butta Toa Bantaeng.

BUTTA Toa sebuah julukan untuk menyebutkan wilayah Bantayang atau Bonthain yang kini disebut sebagai Bantaeng yang merupakan salah  satu kabupaten yang ada di Sulawesi Selatan.

Nama Bantayang merupakan salah satu wilayah yang disebutkan Empu Prapanca dalam karyanya Negarakertagama dalam Pupuh 14 yang ditulisnya pada tahun 1365.

Disebutkannya nama Bantaeng dalam Negarakertagama ini memberikan indikasi bahwa wilayah Bantaeng cukup diperhitungkan pada masa itu oleh Kejaraan Majapahit yang banyak menguasai wilayah di Nusantara.

Selain itu, nama Butta Toa juga menyimpan banyak misteri masa lalu, salah satunya tentang kehidupan Orang Toala yang hidup sekitar 4.700 tahun lalu di sekitar Kawasan Batu Ejaya, seperti yang diungkap dalam buku Butta Toa “Jejak Arkeologi Budaya Taola, Logam, dan Tradisi Berlanjut di Bantaeng” yang disunting M. Irfan Mahmud bersama Budianto Hakim yang terbit pada tahun 2017.

***

Kawasan Batu Ejaya yang saat ini masuk dalam wilayah Kelurahan Bontojaya, Kecamatan Bissappu, Kabupaten Bantaeng menyimpan banyak misteri tentang orang Toala yang hidup sekitar 4700 tahun lalu di kawasan ini.

Penamaan Orang Toala atau Orang Hutan merupakan “penamaan ilmiah” bagi penduduk asli Sulawesi.

Orang Toala memiliki ciri- ciri fisik Australomelanesid atau biasa juga disebut Melanesoid.

Secara  fisik orang Toala memiliki kulit hitam, bibir tebal, hidung mancung, rambut ikal, dan berbadan kekar.

Kelompok Orang Toala dengan ciri itulah yang datang mendirikan kampung purba di Kawasan prasejarah Batu Ejaya.

Kampung purba Orang Toala di kawasan Batu Ejaya, hanyalah salah satu tempat di antara ratusan situs prasejarah Sulawesi yang lenyap.

Di kampung purba Orang Toala, ditemukan kumpulan situs hunian mungil ribuan tahun lalu, yang terisolasi sangat jauh dari kelompok tetangga mana pun.

Dari sepuluh situs hunian gua atau ceruk yang sudah diketahui sekarang, arkeolog menaksir bahwa cakupan kawasan hunian aktif yang mereka gunakan, hanya kurang lebih satu kilometer persegi.

Berdasarkan bukti arkeologi dapat menduga bahwa populasi mereka sangat sedikit, dalam kelompok kecil.

Mereka memilih gua atau ceruk sebagai hunian, di dalam lembah di atas pegunungan tinggi (antara 250—289 dari permukaan laut). dikelilingi benteng perbukitan bergelombang lemah, di sela-sela sebaran boulder dan bongkah batuan vulkanik.

Akan tetapi Orang Toala yang pertama kali mencapai Bantaeng 4700 tahun silam dan baru pergi sekitar 2200 tahun silam tersebut hanya menitipkan jejak dua lukisan cap tangan dan sedikit perhiasan.

Jejak berikutnya hanya memberi tambahan bukti artefak persentuhan budaya dengan kelompok Austronesia.

Austronesia memberi penduduk Bantaeng sentuhan tradisi gerabah, logam dan megalitik yang pengaruhnya sampai menyentuh masyarakat sekarang dalam bentuk ritual eksotis di situs keramat.

Dengan  kata lain, hampir separuh bagian masa prasejarah Bantaeng yang amat panjang (± 5800 tahun) diisi Orang Toala.

Selama 2500 tahun Orang Toala mengembangkan kebudayaan dengan tema episode terbatas, datar, sekaligus polos, di atas panggung kecil seluas satu kilometer persegi di kawasan Batu Ejaya.

Dari kampung purba Batu Ejaya inilah, sejak tahun 1937 arkeolog mulai mengumpulkan jejak artefak Orang Toala yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kisah kebudayaan tertua Bantaeng.

Menurut arkeolog, Orang Toala tiba di Bantaeng dan mulai menghuni kawasan prasejarah Batu Ejaya sejak masa praneolitik, atau kala Holosen Tengah.

Mereka mengembangkan kebudayaan sederhana, berkelana merambah hutan, berburu fauna, dan meramu. Pada saat itu Orang Toala telah terampil menghasilkan peralatan dari serpihan batu, alat tulang, dan gambar cadas.

Dunia ilmu pengetahuan, khususnya arkeologi, beruntung menemukan kampung purba Batu Ejaya, tempat benih teori lapisan budaya Toala (Toalian culture) yang dilahirkan oleh Hendrik Robbert van Heekeren, seorang ahli analisis ekspedisi prasejarah Indonesia berkebangsaan Belanda yang mendapatkan gelar Dr.(H.C.) dari Leiden University, University of Copenhagen dan Universitas Indonesia. merupakan mantan kurator dari National Museum of Ethnology, Leiden dan sebagai penulis sumber sejarah terkemuka di Indonesia.

Dari laporan Heekeren, dalam The Stone Age of Indonesia terbit tahun 1972, diketahui bahwa berhari-hari ia menggali Situs Gua Panganreang Tudea dan Situs Gua Batu Ejaya hingga menemukan stratigrafi yang sampai sekarang masih dijadikan rujukan teoritis ilmuan dunia untuk menjelaskan episode perkembangan budaya penduduk pribumi Sulawesi, Orang Toala.

Bahkan Peter Bellwood, dalam bukunya Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia (Edisi Revisi) yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia pada tahun 2000,  tak ragu-ragu mengatakan, kedua situs di kawasan Batu Ejaya tersebut sangat penting dalam rekonstruksi lapisan budaya prasejarah Sulawesi Selatan.

Hal ini menurut Bellwood yang juga dosen arkeologi di School of Archaeology and Anthropology Australian National University (ANU) di Canberra, Australia dengan bidang kepakaran mencakup prasejarah Asia Tenggara dan Pasifik dari segi arkeologi, linguistik dan biologi, asal usul pertanian ini, disebabkan kedua situs tersebut menunjukkan suatu keunikan bentuk inovasi teknologi alat batu prasejarah di daerah kepulauan Asia Tenggara.

Secara ringkas, gambaran kisah kebudayaan tertua di Bantaeng meliputi empat periode. Periode pertama, selama kira-kira 1200 tahun Orang Toala hidup eksklusif dalam dunia kebudayaannya dalam benteng alam kokoh Lembah Batu Ejaya, berlangsung sekitar 4700—3500 tahun silam.

Periode kedua, perjumpaan pribumi Sulawesi (Toala) dan Austronesia yang membawa tradisi gerabah pada 3500 tahun silam, selanjutnya hidup berdampingan selama kira-kira 1300 tahun, sebelum Orang Toala harus hengkang dari Bantaeng 2300 tahun silam, untuk melanjutkan hidup dan kebudayaannya di tanah asing di wilayah timur, hingga Papua dan Kepulauan Melanesia.

Periode ketiga, hadirnya logam, dimulai sekitar 2300 tahun silam atau 300 Sebelum Masehi.

Periode keempat, berkembangnya megalitik dimulai paling tua 1500 tahun silam dan terus berlanjut pengaruhnya hingga sekarang pada sejumlah kelompok masyarakat Bantaeng.

Lalu bagaimana sesungguhnya kehidupan orang Toala pada masa itu? Simak tulisan selanjutnya.

Tonton Videonya di Youtube IDWAR ANWAR

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Misteri Jejak Orang Toaala di Butta Toa Bantaeng

Terkini

Iklan

Close x